Duduk termangu
Mengurai lelah jiwa
Luruh dalam hening
Mengendap dalam gelap
Di dasar hati yang pengap
Duduk termangu
Mengurai lelah jiwa
Luruh dalam hening
Mengendap dalam gelap
Di dasar hati yang pengap
Aku menepikan sepeda motor ke bawah pohon rindang di tepian jalan. Tanpa mematikan mesinnya, kuraih handphone dari balik saku jaket lusuh yang kukenakan (hah, sok kaya lu. HP jelek tu jgn sampe kelihatan orang. Malu-maluin tau gk!!).
‘Wss..Ga ush ka, Langsng maQ kcmpz, sy jg skrg ud djln’. Begitu bunyi sms yang masuk.
Kusimpan kembali handphone itu ke dalam saku. Perlahan, mesin motor kembali meraung di jalan berdebu yang macet. Tak sampai seratus meter, kubelokkan arah motor memasuki gerbang yang sebulan terakhir akrab denganku (ya mana bisa gk akrab bro!!, kalau seorang teman dan seorang yang lain suka mengutangkan pulsa kuliah disini!!).
Tepat di depan perpustakaan, di parkiran yang masih sepi, aku berhenti. Sesaat aku menatap sekeliling. Tapi tak kutemui wajah-wajah yang kukenal. Di tempat duduk, juga di kerumunan orang yang lalu lalang. Kian ramai.
‘Ah, aku takkan menunggu di tempat ini lagi’. Begitu batinku saat sejenak berhenti tepat di depan perpustakaan (tidak disediakan ruang tunggu bagi tamu kah di kampus ini??). Aku melangkah ke sisi kiri gedung, terus ke arah belakang. Tepat di sisi kanan auditorium aku berhenti. ‘Hmm, untung ada toko makanan disini’. Aku melangkah kedalam, mengelilingi rak-rak setinggi satu setengah meter yang dijejer rapi. Padanya diletakkan aneka makanan ringan yang tak sadar membuatku menelan ludah.
“Cari apa?” Tanya penjaga toko. Seolah mengerti kebingunganku (huh, ni belagak bloon ataw memang tidak tau? Ya, kesini cari makanan lah! Masa mo cari masalah!).
“Top ada tidak?”. Aku menjawabnya dengan pertanyaan.
“Ooh, ini!” . Ujarnya sembari menujuk pada toples besar di atas meja kasir.
Aku mengambil 5 pcs dan sebotol sedang air mineral. Membayarnya lalu keluar.
‘Ah, semoga saja mereka sudah datang’. Harapku sembari kembali merogoh hanphone. Kugeser cursor ke bawah sambil sigap memelototi nama-nama yang berlarian. Beberapa saat, kutekan tombol call. Sayang, dari ujung seberang tak ada jawaban. Kucoba sekali lagi. Tapi hasilnya sama saja. Aku berhenti saat seseorang menegurku dari belakang.
“Lama meki disini?” tanyanya kemudian saat aku berhasil mengenalinya setelah beberapa saat. Dia Titin.
“Kau dari mana saja?” kataku ketus tanpa menjawab pertanyaannya.
“Baruka juga datang.” Ujarnya sembari tertawa.
Aku menawarinya duduk di teras depan sebelah kanan auditorium itu. Di tempat yang sama, beberapa orang juga duduk, asyik dalam percakapan mereka yang diselingi tawa. Kebanyakan perempuan. Saat duduk itulah kujulur uang sepuluh dan lima ribuan. Masing-masing selembar (yang ini sih, sisa uang yg gk kepake. Maklum, orang kaya, hahahaha..).
“Tidak ada uang kecilku, kak.” Ujarnya sambil tetap tersenyum.
Begitulah Titin. Mungkin akan susah menemukan orang se-enjoy dia. Setidaknya begitulah sejauh saya hidup saat ini. Tiada hari tanpa tersenyum ,atau bahkan gelak tawa (tapi bukanjie orang gila tawwa, hahaha!!).
Aku menarik kembali uang lima ribuan yang ingin kuserahkan padanya. Berharap bahwa kali ini aku akan diberi diskon, dia meninggikan suaranya dan berkata, “Tidak boleh!!”
“Okelah…” ujarku mengalah (dasar! Titin sekkeee!!).
Beberapa saat, seseorang datang menginterupsi. Kali ini aku tak perlu lama mengenali suara yang menyapa merdu itu (huftt, bisanya mamo dilupa! Amma gitu lho!!). Di beberapa malam yang lewat, suaranya selalu membuatku tidur nyenyak. Selayaknya dongeng sebelum tidur…
Kali ini aku memilih tak memperhatikannya. Sejenak aku hanya menunduk, hingga dia berdiri tepat di depanku. Aku mengangkat muka menatap wajahnya yang tersenyum. Kuulurkan tangan sembari menanyakan keadaannya. Senyumnya sejenak menyerap seluruh konsentrasiku hingga sedikit mengganggu pendengaranku. Tapi samar kudengar dia menjawab: Sangat baik! (dia jawabnya pake bahasa Inggris coy! Makanya orang awam bakalan gk ngerti. Untung gua sedikit jago.ehmm,,)
‘Aduhh, dia memilih duduk di sebelah Titin dan bukannya di sebelahku’. Aku menghela nafas pendek. Ah, mungkin karena di samping depan itu ada tong sampah. (Peace men!!)
Tapi itu tak lama. Sebab, beberapa menit kemudian aku pindah duduk ke sisinya. Dari situ mengalirlah percakapan indah hari itu. Beberapa pertanyaan serius di-intermezzo oleh cekikikan tawa dan senyum di bibir kami bertiga.
Kurang dari sejam kami duduk disana. Hingga tak terasa teriknya sinar mentari dari balik atap auditorium, mulai menyengat kaki dan kepala. Tak betah, Titin memilih pamit ke arah musholla kampus. Sejenak tinggallah aku dengannya berdua. Tetap dalam bahasan serius dengan sesekali senyum. Tak peduli terhadap tatapan penuh tanya dari beberapa orang di sekitar situ. Entah mereka iri atau kagum pada sosok Romeo dan Juliet yang mereka lihat (nassami! orang gagah dan orang manis yang dilihat!!).
Tak tahan terik mentari, kami pindah ke sisi lain gedung. Melanjutkan kata disitu. Tapi tak lama, sebab keburu sudah Azan dhuhur. Aku mesti shalat dulu.
Eitz, aku kaget saat secara tak sadar papan yang tadinya kupijak mengalami pergeseran titik berat (ini bahasa teknik coy, tanya ke redaksi klo tidak tau.!), hingga hampir membuatnya jatuh. “Iihh, kak!” begitu pekiknya. Alhamdulillah, dia selamat sebelum sempat kujangkau tangannya (jika jd pun gk papa, coz itu ikhlas mo nolongin orang. Lagian gua ngerti, dia belum jadi istri gue..yang baca ini doakan ya,please!!!)
Saat di seberang mesjid, aku berhenti sejenak. Memintanya menunggu hingga usai shalat.
“Shalat meki dulu!” pintanya, kali ini dengan tatapan terindah yang pernah diberikannya padaku. Meski hanya beberapa detik, itu cukup membuatku tercekat grogi sekaligus berucap: Masya Allah!
(sekedar info, aku juga pernah melihatnya sangat cantik di suatu malam. Di rumahnya. Tepat di hari pernikahan kakakku. Saat aku berdiri hendak pamit, dia ikut berdiri lalu menyandar di tiang rumah, membelakangi nyala lampu teras. Gerimis perlahan membasahi jaketku yang berdiri di halaman. Aku tak bisa jelas melihat wajahnya. Tapi dalam silau cahaya lampu ke mataku aku tahu dia sedang menatapku dengan tatapan yang menusuk kalbu. Dia begitu anggun! Aku menghayatinya dan membiarkan bulir-bulir gerimis menembus jaket yang kukenakan. Aku baru bisa pulang setelah pamit yang keempat kalinya..)
Usai shalat, aku kembali menunggunya di seberang mushala. Sambil menunggu, ku-utak-atik tombol handphone, mengecek account Facebook-ku. Hingga kusadari dia telah berdiri tepat disampingku.
“Aku mau makan dulu”. Begitu ujarku saat dia menanyakan aku kenapa belum pulang.
“Ah, tidak usahmi. Masih kenyangka. Sudahma makan tadi”. Katanya menolak saat aku mengajaknya ikut makan.
Nyatanya, saat di kantin, bertiga dengan Titin, aku pesan makanan untuknya juga. (oh ya, Titin tadi ketemu terdampar di mushalla. Saking maunya ikut makan, jilbabnya dipake tidak sempurna. Jadilah kainnya yang sedikit bolong terlihat..Sorry sister, hehehe…Stay humble!).
‘Uftt, dia memang sudah makan.’ Pikirku saat melihatnya tak bisa menghabiskan se-porsi mie pangsit di depannya. Tapi tak usah khawatir bakal mubazir. Tenang, ada Latif dan Titin yang perutnya berloteng-loteng..
Sudah hampir jam satu siang saat kami selesai makan. Saat keluar kantin, di seberang jalan kami ketemu Asrul (yang ini teman kuliah kami. Tapi lain fakultas coy!). Sedikit bengong, dia tersenyum saat kukatakan bahwa aku kuliah di tempatnya.
Di depan gedung Fekon (yang belum kuliah, Fekon itu kepanjangan fakultas ekonomi), aku berhenti. Aku menatapnya, lalu bertanya serius: “Kamu akan baik-baik saja?”
Sejenak dia berhenti dan menjawab, “Ya, saya akan baik-baik saja!”
Saat dia dan Titin (eh, hampir lupa bilang. Titin itu juga merangkap pembantu umum..) berlalu, perlahan aku melangkah pasti ke tempat parkir (ya iyalah! Masa ke ruangan kuliah bersama mereka!? Nanti ada yang naksir disana? Gimana coba!!??).
‘Semoga dia bahagia hari ini (Titin juga tawwa..). Everything will be fine!’ Begitu harapku dalam hati. Aku pulang.
..........................
Early December. Di suatu tahun
Sebisanya, aku ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Meski lelah mendera di ujung waktu ini. Sebab, sama seperti di waktu yang lain. Kemarin, sekarang dan besok. Kuingin semua berlalu dengan indah. Semampuku. Sebab sekali lagi, jika hal yang paling jauh dari diri kita adalah masa lalu, semestinyalah semua waktu tersenyum senang, berlalu meninggalkan kita. Lalu jadilah moment itu masa lalu yang menyenangkan. Mungkin akan selalu ada senang disana meski hanya sesekali kita menengok ke belakang.
Jarum jam dinding itu menunjuk tepat ke angka delapan malam. Di luar
Entah kenapa, jiwa ini seperti sedang kehilangan. Dengan tak bersemangat kukeluarkan handphone lipat dari saku celana. Sejenak kugeser phonebook account ke bawah. Lalu terngianglah namanya. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat dia. Padahal barusan namanya kulewatkan. Kembali kugeser tombol pencari account itu keatas. Lagi sedang apa dia disana? Begitu pikirku sesaat setelah menemukan namanya. Ah, semoga saja teleponku dijawabnya.
Kesibukan (ini mungkin perasaanku saja) yang membuatku kadang lupa, bahwa hidup selalu seperti ini. Kadang terasa segalanya berjalan begitu menyenangkan, kadang juga menjadi sangat menyesakkan. Ia tidaklah berjalan linear. Tapi ya, itu tadi. Kadang aku lupa menyadarinya. Jika sudah demikian, jika memang tak sedang on fire, juga tak ada yang mengingatkan, maka biarkan sj dan yakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Menyenangkan atau menyesakkan menurutku hanyalah masalah pikiran manusia yang rumit. Life does go on!
Setahuku, sudah beberapa lama aku tidak mendengar suaranya disana. Sungguh menyenangkan mengenalnya lebih jauh. Meski itu baru kusadari setelah tak pernah lagi ketemu. Tak seperti yang coba kutebak saat melihatnya dulu, ia selalu berusaha untuk peduli dan positif. Jika saja kusadari itu sejak dari dulu, mungkin sekarang akan banyak lembaran masa lalu yang menyenangkan di baca ulang.
Disini, aku ingin mensyukuri nomor handphonenya masih kusimpan. Hanya lewat itu aku bisa mendengarnya lagi dan lagi. Membaca pesannya atau sekedar mengetahui kabarnya disana. Aku juga ingin bersyukur atas waktu yang disempatkan-Nya untukku mengenalnya. Di luar itu, aku juga ingin mensyukuri jarak yang menjauhkan aku dan dia. Sebab jika tidak karena itu, maka tak akan ada kangen padanya. Dia adalah bagian dari energi yang membuatku bisa selalu menjalani hidup yang indah. Sangat menyenangkan saat mengetahui dia punya pikiran yang sama denganku. Untuk masa depan, untuk hidup yang lebih baik.
Aku tiba-tiba merasa iri dengan si Dadang. Baru beberapa detik berlalu saat kuakhiri pembicaraan telepon dengannya. Pagi ini nun jauh di seberang
Ya hari pagi ini dia akan pulang. Seperti tak ada yang bisa menahannya untuk pergi. Tanpa sepengetahuan boss di kantor, ia telah memesan tiket 3 hari sebelumnya. Dan itu berarti dia akan pulang tanpa mengantongi izin boss.
Tadi nada suaranya begitu riang di telepon. Membayangkan pulang, mengudara dan mendarat di bandara Sultan Hasanuddin yang baru. Di dadanya membuncah kangen untuk ayah, ibu, kakak, dan family yang lain. Juga buat teman-teman yang beberapa lama hanya dapat ditemui lewat layar computer, atau bicara lewat handphone.
Hari ini Kamis 9 April 2009. Sejak kemarin siang ia telah bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Lewat handphone ia mengatakan telah membuat beberapa rencana untuk menghabiskan hari hingga akhir pekan nanti. Kemana ia akan pergi, dengan siapa dan bertemu siapa. Alangkah riangnya ia diseberang
Seakan tak peduli dengan limit kartu handphone-ku yang hampir usai, ia terus bicara. Meluapkan gembira, melupakan sejenak pekerjaan yang ditinggalkan, tak peduli boss tahu dia pulang atau tidak. Juga tentu tak terlalu risau dengan permintaan traktiran teman-teman yang ditemuinya. Dalam hati yang lirih terucap, selamat bersenang-senang kawan! Mumpung masih ada waktu…
Hari masih pagi. dari luar, terdengar pintu utama digedor. Ah, pasti Mr. Nainggolan. Seminggu ini ia kena giliran jaga malam. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.30. Dengan dengan langkah gontai kubuka pintu kamar lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk cuci muka. Keluarnya, tak lupa kuraih gelas besar dan teh celup dari dalam lemari. Di ruang tengah kucurahkan air panas dari dispenser kedalam gelas. Lalu duduk dekat tipi yang sesaat lalu dinyalakan Mr. Nainggolan.
Sejurus kemudian aku masuk kembali ke kamar. Rasanya ada yang terlupakan. Kubuka handphone lipat yang diam diatas lemari kecil. Ternyata masih ada SMS sisa semalam yang tak sempat kubaca. Dari seorang teman lama, ia menulis: ‘Aslm. Jangan lupa besok contreng Partai Kita Semua. Hehehe..”
Kubaca SMS itu sekali lagi. Lalu sejenak tersenyum kecut. Maafkan aku kawan. Disini, sekarang, banyak hal yang aku tak bisa. Tak bisa pulang seperti si Dadang, tak bisa ketemu kalian yang selalu menagih traktiran. Juga tak bisa memenuhi permintaanmu di SMS itu. Sebab aku telah memilih yang lain. Memilih untuk tak memilih. Bukan karena keinginan tapi karena aku tak ada niat untuk selamanya disini.
ltf
09/04/09