Rabu, 06 Januari 2010

Mengendapkan letih

Duduk termangu

Mengurai lelah jiwa

Luruh dalam hening

Mengendap dalam gelap

Di dasar hati yang pengap

Kamis, 31 Desember 2009

at the last day

alhamdulillah masih bisa bangun di pagi buta ini. setahuku, ini hari terakhir di 2009. rasa-rasanya tak akan banyak yang berubah, ber-revolusi dengan sebenarnya setelah hari ini berlalu. meski tetap berharap bahwa dengan ke-Maha Kuasaan-nya, Allah akan memberikan banyak kejutan nantinya. bukankah hari esok selalu menyimpan harapan?

ah, mengingat hari-hari yang lewat, membuatku merasa sedikit tak nyaman. mengingat bahwa saya sekarang berdiri di seperempat abad. andai coretan-coretan di lembar-lembar waktu yang sempat kugoreskan tak teratur ada di rak buku, atau di file harddisk, di dinding kamar atau dimanapun, aku akan membukanya dengan penuh semangat sekarang. memelototi lembar demi lembar, khususnya cerita setahun terakhir.

sebesar hitungan waktu yang telah menjadi bagian yang takkan lagi pernah datang, sebanyak itulah (mungkin) isi coretan di lembar-lembar waktu yang ingin kurobek, kuremas lalu kulempar ke tong sampah yang jauh. atau kubakar jadi abu di nyala api yang menyengat. lalu mengganti halaman kosong itu dengan lembar-lembar putih. tanpa spasi. tanpa kata..

esok. juga nanti dan seterusnya. selamat buat kalian, teman-temanku yang masih disatukan jiwa dan ruhnya! selamat jadi pena yang menjejakkan tinta di kertas putih, atau kerikil yang menimbulkan riak di lautan yang tenang. atau memilih cukup jadi kertas putih, atau air yang tak beriak, atau jadi apapun. semaunya.

Tamalanrea, 31 Dec'2009

Everything will be fine..!

Aku menepikan sepeda motor ke bawah pohon rindang di tepian jalan. Tanpa mematikan mesinnya, kuraih handphone dari balik saku jaket lusuh yang kukenakan (hah, sok kaya lu. HP jelek tu jgn sampe kelihatan orang. Malu-maluin tau gk!!).

‘Wss..Ga ush ka, Langsng maQ kcmpz, sy jg skrg ud djln’. Begitu bunyi sms yang masuk.

Kusimpan kembali handphone itu ke dalam saku. Perlahan, mesin motor kembali meraung di jalan berdebu yang macet. Tak sampai seratus meter, kubelokkan arah motor memasuki gerbang yang sebulan terakhir akrab denganku (ya mana bisa gk akrab bro!!, kalau seorang teman dan seorang yang lain suka mengutangkan pulsa kuliah disini!!).

Tepat di depan perpustakaan, di parkiran yang masih sepi, aku berhenti. Sesaat aku menatap sekeliling. Tapi tak kutemui wajah-wajah yang kukenal. Di tempat duduk, juga di kerumunan orang yang lalu lalang. Kian ramai.

‘Ah, aku takkan menunggu di tempat ini lagi’. Begitu batinku saat sejenak berhenti tepat di depan perpustakaan (tidak disediakan ruang tunggu bagi tamu kah di kampus ini??). Aku melangkah ke sisi kiri gedung, terus ke arah belakang. Tepat di sisi kanan auditorium aku berhenti. ‘Hmm, untung ada toko makanan disini’. Aku melangkah kedalam, mengelilingi rak-rak setinggi satu setengah meter yang dijejer rapi. Padanya diletakkan aneka makanan ringan yang tak sadar membuatku menelan ludah.

“Cari apa?” Tanya penjaga toko. Seolah mengerti kebingunganku (huh, ni belagak bloon ataw memang tidak tau? Ya, kesini cari makanan lah! Masa mo cari masalah!).

“Top ada tidak?”. Aku menjawabnya dengan pertanyaan.

“Ooh, ini!” . Ujarnya sembari menujuk pada toples besar di atas meja kasir.

Aku mengambil 5 pcs dan sebotol sedang air mineral. Membayarnya lalu keluar.

‘Ah, semoga saja mereka sudah datang’. Harapku sembari kembali merogoh hanphone. Kugeser cursor ke bawah sambil sigap memelototi nama-nama yang berlarian. Beberapa saat, kutekan tombol call. Sayang, dari ujung seberang tak ada jawaban. Kucoba sekali lagi. Tapi hasilnya sama saja. Aku berhenti saat seseorang menegurku dari belakang.

“Lama meki disini?” tanyanya kemudian saat aku berhasil mengenalinya setelah beberapa saat. Dia Titin.

“Kau dari mana saja?” kataku ketus tanpa menjawab pertanyaannya.

“Baruka juga datang.” Ujarnya sembari tertawa.

Aku menawarinya duduk di teras depan sebelah kanan auditorium itu. Di tempat yang sama, beberapa orang juga duduk, asyik dalam percakapan mereka yang diselingi tawa. Kebanyakan perempuan. Saat duduk itulah kujulur uang sepuluh dan lima ribuan. Masing-masing selembar (yang ini sih, sisa uang yg gk kepake. Maklum, orang kaya, hahahaha..).

“Tidak ada uang kecilku, kak.” Ujarnya sambil tetap tersenyum.

Begitulah Titin. Mungkin akan susah menemukan orang se-enjoy dia. Setidaknya begitulah sejauh saya hidup saat ini. Tiada hari tanpa tersenyum ,atau bahkan gelak tawa (tapi bukanjie orang gila tawwa, hahaha!!).

Aku menarik kembali uang lima ribuan yang ingin kuserahkan padanya. Berharap bahwa kali ini aku akan diberi diskon, dia meninggikan suaranya dan berkata, “Tidak boleh!!”

“Okelah…” ujarku mengalah (dasar! Titin sekkeee!!).

Beberapa saat, seseorang datang menginterupsi. Kali ini aku tak perlu lama mengenali suara yang menyapa merdu itu (huftt, bisanya mamo dilupa! Amma gitu lho!!). Di beberapa malam yang lewat, suaranya selalu membuatku tidur nyenyak. Selayaknya dongeng sebelum tidur…

Kali ini aku memilih tak memperhatikannya. Sejenak aku hanya menunduk, hingga dia berdiri tepat di depanku. Aku mengangkat muka menatap wajahnya yang tersenyum. Kuulurkan tangan sembari menanyakan keadaannya. Senyumnya sejenak menyerap seluruh konsentrasiku hingga sedikit mengganggu pendengaranku. Tapi samar kudengar dia menjawab: Sangat baik! (dia jawabnya pake bahasa Inggris coy! Makanya orang awam bakalan gk ngerti. Untung gua sedikit jago.ehmm,,)

‘Aduhh, dia memilih duduk di sebelah Titin dan bukannya di sebelahku’. Aku menghela nafas pendek. Ah, mungkin karena di samping depan itu ada tong sampah. (Peace men!!)

Tapi itu tak lama. Sebab, beberapa menit kemudian aku pindah duduk ke sisinya. Dari situ mengalirlah percakapan indah hari itu. Beberapa pertanyaan serius di-intermezzo oleh cekikikan tawa dan senyum di bibir kami bertiga.

Kurang dari sejam kami duduk disana. Hingga tak terasa teriknya sinar mentari dari balik atap auditorium, mulai menyengat kaki dan kepala. Tak betah, Titin memilih pamit ke arah musholla kampus. Sejenak tinggallah aku dengannya berdua. Tetap dalam bahasan serius dengan sesekali senyum. Tak peduli terhadap tatapan penuh tanya dari beberapa orang di sekitar situ. Entah mereka iri atau kagum pada sosok Romeo dan Juliet yang mereka lihat (nassami! orang gagah dan orang manis yang dilihat!!).

Tak tahan terik mentari, kami pindah ke sisi lain gedung. Melanjutkan kata disitu. Tapi tak lama, sebab keburu sudah Azan dhuhur. Aku mesti shalat dulu.

Eitz, aku kaget saat secara tak sadar papan yang tadinya kupijak mengalami pergeseran titik berat (ini bahasa teknik coy, tanya ke redaksi klo tidak tau.!), hingga hampir membuatnya jatuh. “Iihh, kak!” begitu pekiknya. Alhamdulillah, dia selamat sebelum sempat kujangkau tangannya (jika jd pun gk papa, coz itu ikhlas mo nolongin orang. Lagian gua ngerti, dia belum jadi istri gue..yang baca ini doakan ya,please!!!)

Saat di seberang mesjid, aku berhenti sejenak. Memintanya menunggu hingga usai shalat.

“Shalat meki dulu!” pintanya, kali ini dengan tatapan terindah yang pernah diberikannya padaku. Meski hanya beberapa detik, itu cukup membuatku tercekat grogi sekaligus berucap: Masya Allah!

(sekedar info, aku juga pernah melihatnya sangat cantik di suatu malam. Di rumahnya. Tepat di hari pernikahan kakakku. Saat aku berdiri hendak pamit, dia ikut berdiri lalu menyandar di tiang rumah, membelakangi nyala lampu teras. Gerimis perlahan membasahi jaketku yang berdiri di halaman. Aku tak bisa jelas melihat wajahnya. Tapi dalam silau cahaya lampu ke mataku aku tahu dia sedang menatapku dengan tatapan yang menusuk kalbu. Dia begitu anggun! Aku menghayatinya dan membiarkan bulir-bulir gerimis menembus jaket yang kukenakan. Aku baru bisa pulang setelah pamit yang keempat kalinya..)

Usai shalat, aku kembali menunggunya di seberang mushala. Sambil menunggu, ku-utak-atik tombol handphone, mengecek account Facebook-ku. Hingga kusadari dia telah berdiri tepat disampingku.

“Aku mau makan dulu”. Begitu ujarku saat dia menanyakan aku kenapa belum pulang.

“Ah, tidak usahmi. Masih kenyangka. Sudahma makan tadi”. Katanya menolak saat aku mengajaknya ikut makan.

Nyatanya, saat di kantin, bertiga dengan Titin, aku pesan makanan untuknya juga. (oh ya, Titin tadi ketemu terdampar di mushalla. Saking maunya ikut makan, jilbabnya dipake tidak sempurna. Jadilah kainnya yang sedikit bolong terlihat..Sorry sister, hehehe…Stay humble!).

‘Uftt, dia memang sudah makan.’ Pikirku saat melihatnya tak bisa menghabiskan se-porsi mie pangsit di depannya. Tapi tak usah khawatir bakal mubazir. Tenang, ada Latif dan Titin yang perutnya berloteng-loteng..

Sudah hampir jam satu siang saat kami selesai makan. Saat keluar kantin, di seberang jalan kami ketemu Asrul (yang ini teman kuliah kami. Tapi lain fakultas coy!). Sedikit bengong, dia tersenyum saat kukatakan bahwa aku kuliah di tempatnya.

Di depan gedung Fekon (yang belum kuliah, Fekon itu kepanjangan fakultas ekonomi), aku berhenti. Aku menatapnya, lalu bertanya serius: “Kamu akan baik-baik saja?”

Sejenak dia berhenti dan menjawab, “Ya, saya akan baik-baik saja!”

Saat dia dan Titin (eh, hampir lupa bilang. Titin itu juga merangkap pembantu umum..) berlalu, perlahan aku melangkah pasti ke tempat parkir (ya iyalah! Masa ke ruangan kuliah bersama mereka!? Nanti ada yang naksir disana? Gimana coba!!??).

‘Semoga dia bahagia hari ini (Titin juga tawwa..). Everything will be fine!’ Begitu harapku dalam hati. Aku pulang.



..........................

Early December. Di suatu tahun

Sabtu, 30 Mei 2009

Menemukan Jawaban

Sebisanya, aku ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Meski lelah mendera di ujung waktu ini. Sebab, sama seperti di waktu yang lain. Kemarin, sekarang dan besok. Kuingin semua berlalu dengan indah. Semampuku. Sebab sekali lagi, jika hal yang paling jauh dari diri kita adalah masa lalu, semestinyalah semua waktu tersenyum senang, berlalu meninggalkan kita. Lalu jadilah moment itu masa lalu yang menyenangkan. Mungkin akan selalu ada senang disana meski hanya sesekali kita menengok ke belakang.

Jarum jam dinding itu menunjuk tepat ke angka delapan malam. Di luar sana, hujan deras sejak tadi sore kini tinggal menyisakan gerimis. Di ruang tengah rumah ini, aku duduk sendirian. Kuraih remote tipi di atas meja di depanku. Mulailah jempol liar ini memencet tombol, mencari channel kesukaanku. Hanya beberapa saat mataku focus melihat ke layar kaca. Masih saja berita tentang dukungan capres yang diulas presenter berita itu. Kayaknya sudah sejak tadi siang.

Entah kenapa, jiwa ini seperti sedang kehilangan. Dengan tak bersemangat kukeluarkan handphone lipat dari saku celana. Sejenak kugeser phonebook account ke bawah. Lalu terngianglah namanya. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat dia. Padahal barusan namanya kulewatkan. Kembali kugeser tombol pencari account itu keatas. Lagi sedang apa dia disana? Begitu pikirku sesaat setelah menemukan namanya. Ah, semoga saja teleponku dijawabnya.

Kesibukan (ini mungkin perasaanku saja) yang membuatku kadang lupa, bahwa hidup selalu seperti ini. Kadang terasa segalanya berjalan begitu menyenangkan, kadang juga menjadi sangat menyesakkan. Ia tidaklah berjalan linear. Tapi ya, itu tadi. Kadang aku lupa menyadarinya. Jika sudah demikian, jika memang tak sedang on fire, juga tak ada yang mengingatkan, maka biarkan sj dan yakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Menyenangkan atau menyesakkan menurutku hanyalah masalah pikiran manusia yang rumit. Life does go on!

Setahuku, sudah beberapa lama aku tidak mendengar suaranya disana. Sungguh menyenangkan mengenalnya lebih jauh. Meski itu baru kusadari setelah tak pernah lagi ketemu. Tak seperti yang coba kutebak saat melihatnya dulu, ia selalu berusaha untuk peduli dan positif. Jika saja kusadari itu sejak dari dulu, mungkin sekarang akan banyak lembaran masa lalu yang menyenangkan di baca ulang.

Disini, aku ingin mensyukuri nomor handphonenya masih kusimpan. Hanya lewat itu aku bisa mendengarnya lagi dan lagi. Membaca pesannya atau sekedar mengetahui kabarnya disana. Aku juga ingin bersyukur atas waktu yang disempatkan-Nya untukku mengenalnya. Di luar itu, aku juga ingin mensyukuri jarak yang menjauhkan aku dan dia. Sebab jika tidak karena itu, maka tak akan ada kangen padanya. Dia adalah bagian dari energi yang membuatku bisa selalu menjalani hidup yang indah. Sangat menyenangkan saat mengetahui dia punya pikiran yang sama denganku. Untuk masa depan, untuk hidup yang lebih baik.


ltf
30/05/09

Kamis, 16 April 2009

Larut Tak Hirau

Kini sudah jam sepuluh siang. Sejak pagi mentari selalu malu-malu menampakkan sinarnya. Hari seperti sedang bermuram durja, hingga sejauh ini. Seolah sedang menyelami kegelisahanku yang duduk di sofa ini sendirian. Menunggu memang kadang menjadi sangat menyebalkan. Jika terlalu lama. Dan lagi yang kutunggu bukan seseorang yang istimewa, ‘hanya’ teman kerja yang lagi ada ujian.

Sejenak kegelisahaan itu dikalahkan oleh keasyikanku memencet tombol handphone. Menuliskan pesan singkat lalu mengirimnya ke teman. Entah berapa kali. Berapa teman yang kukirimkan. Ah, seperti biasanya, aku tak mau mengingatnya. Sebab jika dihitung dan ketahuan terlalu banyak, ujung-ujungnya pasti cek pulsa. Lalu menggerutui diri sendiri.

Sesungguhnya dari tempatku duduk view-nya sangat mengasyikkan. Diatas bangunan tinggi dengan beranda yang luas dan lebar. Di bawah, di emperan lantai dasar ditanam bunga yang membentuk pola logo perusahaan. Entah bunga apa namanya. Kuncupnya mekar sehabis disiram hujan semalam.

Di luar halaman, di samping kiri-kanan gedung, berdiri kokoh dan banyak pohon pinus. Seolah sedang berpacu menggapai angkasa, pepohonan itu tumbuh hingga puluhan meter diatas tanah. Rimbunnya membuat sekeliling terasa adem ayem. Sesekali semilir angin lembut membelai dedaunannya. Seperti malaikat maut untuk dedaunan yang telah bosan menguning.

Di atas ranting-ranting yang kokoh burung pipit, kutilang, entah apa lagi, terbang kian kemari. Sahut menyahut seolah tiada henti. Jelas tak sepertiku, burung-burung itu seakan tak ingin hari yang indah berlalu begitu saja. Seperti tak menghiraukan deru alat berat di seberang sana. Tak peduli barangkali tak lama lagi habitat mereka yang menyenangkan itu, digerus manusia yang serakah mengendus emas hitam. Tak berdaya mempertahankan cerita cinta mereka, rumah mereka, telur mereka, diatas pinus yang hanya bisa bergoyang dan diam. Pasrah menunggu mati.

ltf
16/04/09

Minggu, 12 April 2009

Sunset Yang Meredup

lelaki itu membuka handphone lipatnya perlahan. lima menit lewat tengah malam, saat SMS itu masuk. masih berbaring dengan tatapan yang megap, ia berusaha mengenali pengirimnya. maklum sudah sejam yang lewat ia lelap tertidur.

ia mendadak bangun dari tidur saat mengetahui siapa pengirim SMS itu. ia lalu duduk di tepian tempat tidur agar tak salah membacanya. SMS yang mungkin sangat berarti dari seseorang yang pernah memberinya spirit di masa lalunya. maklum ini pesannya yang pertama tepat sejak setahun yang lalu. pengirimnya masih selalu ia rindukan, meski yang ia lakukan hanyalah membuat nomor hanphone-nya mengendap diantara banyak nama tak berarti.

dengan tangan bergetar, ia memencet tombol dan menggeser layar handpone-nya kebawah. dengan perasaan sedikit berdebar ia memelototi kata-kata itu satu demi satu. rasanya ia ingin text SMS itu lebih panjang. dalam hati ia bertanya-tanya kenapa perempuan itu mengirim pesan langka di malam buta? sebegitu pentingkah pesannya?

rinai gerimis sisa hujan tadi masih riuh menetes di atap kamarnya. iramanya mengiringi ingatan pria itu kembali ke masa lalunya. matanya yang masih lelah menatap kosong text SMS yang usai dibacanya.

waktu terasa bergulir terlalu cepat bagi pria itu. tak terasa sudah lewat tengah hari. dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri lorong gelap di dasar gedung perpustakaan kampus. kelelahan yang menghinggapi pikirannya ditimpali pesimisme yang membebani. ia tak yakin dengan jawaban ujian akhir mata kuliah thermodinamika barusan. tapi sudahlah, time is over. gumamnya dalam hati. usai semester ini masih ada semester pendek!

sejenak ia berhenti di depan pintu saat tiba di sudut gedung perpustakaan. memperhatikan alas-alas kaki yang dikenalnya tumpang tindih. tatapannya berhenti pada sepasang sepatu putih yang masih baru. aku tak pernah lihat yang ini. siapa yang datang? batinnya bertanya. dari dalam ruangan terdengar suara dan canda orang-orang yang dikenalnya.

di ruangan depan ia menemukan teman-temannya. lelah jelas telihat di wajah mereka. mungkin karena habis ujian juga, mungkin karena mentari yang terlalu terik bersinar, atau karena narasumber mereka yang seenaknya membatalkan jadwal wawancara.

diantara teman-temannya itu ada wajah yang sama sekali tak dikenalnya. di samping Lily, ada perempuan baru asyik membaca novel. sejenak pria itu tertegun memandangi perempuan itu. Lily tersenyum melihatnya. seperti tahu apa yang diinginkan pria itu, dia lalu berujar, “kenalkan, ini Rose, teman se-fakultasku”.

lelaki itu menjabat tangan kenalan barunya. lama sekali. kalau karena Lily tak menegur, mungkin akan lebih lama lagi. teman lain yang melihatnya cuma tertawa dan berguman menyindir. lelaki itu duduk dan mulai membuka lembaran term of reference (TOR) wawancara yang telah direvisi redakturnya tadi pagi. mulailah ia larut berdiskusi dengan teman yang mendapat penugasan yang sama. membagi siapa yang mewawancarai siapa. separuh hari itu, ia habiskan dengan bergulat mengejar dead line.

“Aslm. Bagaimana hari ini memperlakukanmu disana? Nice to meet u. Maaf ya, Lily yang ngasih tau no HP kamu..”. lelaki itu duduk di kursi ruangan meeting sendirian. sejenak di layer handphonenya terbaca ’message sent’, lalu menghilang. diganti penanda waktu yang menunjuk pukul 08.30 malam. mudah-mudahan ia sedang memegang handphone dan juga belum tidur! pria itu membatin.

tiga menit ia duduk tenang menunggu. menatap jelas pada layer handphone lipat itu. sebuah sms masuk. tak sabar, dengan lincah jempolnya membuka sms itu, lalu dengan penuh harap membacanya. “Wslm. Baik-baik saja. Semoga kamu juga disana. Nice to meet u too. Hehehe!”

malam itu ia lupa berapa banyak sms yang ia kirimkan. bertanya segala hal yang ingin dia ketahui tentang kenalan barunya. setidaknya dua kali handphonenya memberi peringatan bahwa memory sms full. sama sigapnya, kenalan barunya menjawab dengan jelas dan tak lupa mengakhiri setiap sms dengan pertanyaan.

begitulah! hari hari berjalan begitu indah dan penuh harapan baginya. saking semangatnya, ia tak peduli dengan hasil ujian tempo hari yang mengharuskannya mengulang di semester pendek saat musim libur nanti. ia bahkan mensyukurinya. sebab dengan begitu, ia punya alasan untuk tak pulang kampung. dengan begitu pula ia tetap bisa dekat dengan kenalannya yang berwajah manis itu.

“Gak nyangka ya, Tif. Kita bisa jadian dalam waktu yang sangat singkat.” Ujar perempuan itu tulus kepada lelak di sebelahnya di suatu siang. tak peduli banyak orang berseliweran di taman depan fakultas itu, yang mungkin saja menguping. bahkan pada temannya, Lily yang juga duduk di bangku yang sama. mendengar itu Lily tergelak sambil menujuk ke muka perempuan itu, “Akhirnya ngaku juga, hahaha…!”. seketika perempuan itu ikut tertawa. disampingnya sang lelaki pun tersenyum. dalam hati ia bahagia.

tak pernah sebelumnya, hari-hari berlalu penuh kenangan bagi lelaki itu. tidak, sebelum hari melelahkan yang mempertemukan mereka. selalu setiap lelap akan menjemput menuju pagi, ia mengirim pesan pendek kepada perempuannya yang berwajah manis itu. berharap bahwa tak hanya siang hari, tapi malam juga akan mempertemukan mereka. dalam mimpi yang indah.

sebisanya, setiap hari, lelaki itu menemui perempuannya. fakultas yang berbeda membuatnya harus membuat janji jika ada waktu untuk ketemu. di taman depan kampus itu, di tempat makan siang, di halaman depan kampus, di pinggiran danau yang tenang menghanyutkan, lalu mengantarnya pulang di sore hari. andai saja mungkin, ia ingin waktu bisa diputar lebih lambat. ia tak ingin bahagia di dadanya berakhir di sore hari, lalu digantikan kangen yang kadang menyiksanya hingga pagi.

lelaki itu bahkan kadang tak peduli dengan kuliah, tak peduli dengan rapat organisasi kampus yang diikutinya, tak peduli dengan kejaran atau bentakan redaktur Koran kampus yang menagih beritanya. baginya, yang lain itu bisa ditunda lalu diselesaikan di waktu yang lain. ya, maklum ia belum pernah memiliki perasaan separah itu dalam hidupnya. ia seakan tak lagi membayangkan hidup tanpa perempuannya. masa depannya telah ia rancang dengan jelas bersama sang pujaan hati. tak ada Plan B untuk hal ini sebab ia tak ingin menyisakan celah untuk memungkinkan takdir memisahkannya hingga hidupnya berakhir. sekalipun.

di suatu sore yang terik, bersama perempuannya ia berjalan pelan kearah tanggul pantai Losari. sekeliling sudah ramai oleh kelompok muda mudi, keluarga yang berhasrat menyaksikan matahari perlahan tenggelam di ujung laut sebelah barat. sebagian dari mereka masih berseragam kantor atau sekolah. jelas terlihat lelah di wajah mereka yang berjalan dengan gontai kearah tanggul mencari view yang bagus.

di depan tanggul, di atas bangku beton yang pendek, lelaki itu duduk di sebelah sang perempuan. sejenak, ia memandang lepas ke laut biru. lalu tunduk menatap lantai berukir di bawah kakinya. sang perempuan pun hanya tertegun. entah apa yang menyelimuti pikirannya. hening.

“aku lelah sekarang”. ujar perempuan memecah keheningan yang mengantarai mereka. tatapannya lepas kearah laut yang memantulkan sinar mentari yang memudar. sejenak lelaki itu memalingkan muka, menatap perempuan itu. seakan tak mengerti arah kata-kata perempuan barusan. sejurus, ia mengalihkan pandangannya lurus ke depan. menghela napas panjang lalu membuangnya pelan.

“baiklah. saya antar pulang sekarang”. ujar sang lelaki. ia lalu berdiri. hari ini memang berat dan karenanya butuh lebih banyak istirahat. begitu ia berpikir. seperti berusaha menerka apa yang ada di pikiran perempuannya. entah kenapa, seperti ada bias yang menyelimuti perasaannya saat berjalan kearah parkiran. ah! sudahlah, tidak akan seperti itu. batinnya berusaha tetap berpikiran positif.

tiga menit menuju pukul 01.00 malam. lelaki itu duduk tertegun menopang dagu. matanya yang lelah memerah. hanya sesekali berkedip pelan. untuk kesekian kali, ia membuka sms itu. lalu membacanya kembali, seperti belum mengerti maksud pengirimnya. setengah jam berlalu ia tak juga menemukan jawaban yang tepat untuk sms itu.

setelah beberapa lama ia bangkit dari duduknya. lalu berjalan ke arah jendela. di luar sana, rinai gerimis masih menghujam bumi. menghalangi pandangan lelaki itu kearah jalan raya yang sepi. tak ada lagi deru mesin terdengar dari sana. tak ada kendaraan tambang, sepeda motor, juga bus malam yang lewat. hanya kubangan air hujan di sisi jalan yang memantulkan sinar lampu yang muram.

lelaki itu tertegun lama sekali. batinnya yang sesak luruh perlahan. ia memilih berdamai. semuanya telah usai. oleh waktu, oleh takdir yang tak bisa dilawan, tak bisa kompromi dengan kenginan baik yang telah matang direncanakan. kau, perempuanku, memilih menjauh. dan setelahnya, takdir pun membawaku menjauh darimu. mengasingkan aku ke tempat sunyi ini. di kekinian kita hanya teman. dan itu cukuplah sudah. sebab jika mau, waktu bisa saja membuat kita tak pernah kenal!

di atas cakrawala, gelap kian memudar. dari balik jendela, di atas pohon cengkeh, gerombolan burung pipit berkicau silih berganti. untuk terakhir kali sang lelaki membaca sms itu. ‘Aslm. Tif, selamat ulang tahun. Wish all the best for u’. Tak ingin menunggu lebih lama, dibalasnya sms itu. ‘Aslm. Alhamdulillah. Terima kasih atas ucapan selamat dan doa ulang tahunnya’. diiringi hembusan nafas panjang, ia menutup handphone lipatnya setelah ada konfirmasi, message from Rose was deleted..

12/04/09
ltf

Rabu, 08 April 2009

Tak Bisa.

Aku tiba-tiba merasa iri dengan si Dadang. Baru beberapa detik berlalu saat kuakhiri pembicaraan telepon dengannya. Pagi ini nun jauh di seberang sana ia masih masuk kantor. Tapi tak akan lama. sekarang masih jam 08.15.Empat puluh lima menit kedepan, dia mungkin sudah di Sepinggan Airport.

Ya hari pagi ini dia akan pulang. Seperti tak ada yang bisa menahannya untuk pergi. Tanpa sepengetahuan boss di kantor, ia telah memesan tiket 3 hari sebelumnya. Dan itu berarti dia akan pulang tanpa mengantongi izin boss.

Tadi nada suaranya begitu riang di telepon. Membayangkan pulang, mengudara dan mendarat di bandara Sultan Hasanuddin yang baru. Di dadanya membuncah kangen untuk ayah, ibu, kakak, dan family yang lain. Juga buat teman-teman yang beberapa lama hanya dapat ditemui lewat layar computer, atau bicara lewat handphone.

Hari ini Kamis 9 April 2009. Sejak kemarin siang ia telah bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Lewat handphone ia mengatakan telah membuat beberapa rencana untuk menghabiskan hari hingga akhir pekan nanti. Kemana ia akan pergi, dengan siapa dan bertemu siapa. Alangkah riangnya ia diseberang sana.

Seakan tak peduli dengan limit kartu handphone-ku yang hampir usai, ia terus bicara. Meluapkan gembira, melupakan sejenak pekerjaan yang ditinggalkan, tak peduli boss tahu dia pulang atau tidak. Juga tentu tak terlalu risau dengan permintaan traktiran teman-teman yang ditemuinya. Dalam hati yang lirih terucap, selamat bersenang-senang kawan! Mumpung masih ada waktu…

Hari masih pagi. dari luar, terdengar pintu utama digedor. Ah, pasti Mr. Nainggolan. Seminggu ini ia kena giliran jaga malam. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.30. Dengan dengan langkah gontai kubuka pintu kamar lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk cuci muka. Keluarnya, tak lupa kuraih gelas besar dan teh celup dari dalam lemari. Di ruang tengah kucurahkan air panas dari dispenser kedalam gelas. Lalu duduk dekat tipi yang sesaat lalu dinyalakan Mr. Nainggolan.

Sejurus kemudian aku masuk kembali ke kamar. Rasanya ada yang terlupakan. Kubuka handphone lipat yang diam diatas lemari kecil. Ternyata masih ada SMS sisa semalam yang tak sempat kubaca. Dari seorang teman lama, ia menulis: ‘Aslm. Jangan lupa besok contreng Partai Kita Semua. Hehehe..”

Kubaca SMS itu sekali lagi. Lalu sejenak tersenyum kecut. Maafkan aku kawan. Disini, sekarang, banyak hal yang aku tak bisa. Tak bisa pulang seperti si Dadang, tak bisa ketemu kalian yang selalu menagih traktiran. Juga tak bisa memenuhi permintaanmu di SMS itu. Sebab aku telah memilih yang lain. Memilih untuk tak memilih. Bukan karena keinginan tapi karena aku tak ada niat untuk selamanya disini.

ltf

09/04/09