Kamis, 16 April 2009

Larut Tak Hirau

Kini sudah jam sepuluh siang. Sejak pagi mentari selalu malu-malu menampakkan sinarnya. Hari seperti sedang bermuram durja, hingga sejauh ini. Seolah sedang menyelami kegelisahanku yang duduk di sofa ini sendirian. Menunggu memang kadang menjadi sangat menyebalkan. Jika terlalu lama. Dan lagi yang kutunggu bukan seseorang yang istimewa, ‘hanya’ teman kerja yang lagi ada ujian.

Sejenak kegelisahaan itu dikalahkan oleh keasyikanku memencet tombol handphone. Menuliskan pesan singkat lalu mengirimnya ke teman. Entah berapa kali. Berapa teman yang kukirimkan. Ah, seperti biasanya, aku tak mau mengingatnya. Sebab jika dihitung dan ketahuan terlalu banyak, ujung-ujungnya pasti cek pulsa. Lalu menggerutui diri sendiri.

Sesungguhnya dari tempatku duduk view-nya sangat mengasyikkan. Diatas bangunan tinggi dengan beranda yang luas dan lebar. Di bawah, di emperan lantai dasar ditanam bunga yang membentuk pola logo perusahaan. Entah bunga apa namanya. Kuncupnya mekar sehabis disiram hujan semalam.

Di luar halaman, di samping kiri-kanan gedung, berdiri kokoh dan banyak pohon pinus. Seolah sedang berpacu menggapai angkasa, pepohonan itu tumbuh hingga puluhan meter diatas tanah. Rimbunnya membuat sekeliling terasa adem ayem. Sesekali semilir angin lembut membelai dedaunannya. Seperti malaikat maut untuk dedaunan yang telah bosan menguning.

Di atas ranting-ranting yang kokoh burung pipit, kutilang, entah apa lagi, terbang kian kemari. Sahut menyahut seolah tiada henti. Jelas tak sepertiku, burung-burung itu seakan tak ingin hari yang indah berlalu begitu saja. Seperti tak menghiraukan deru alat berat di seberang sana. Tak peduli barangkali tak lama lagi habitat mereka yang menyenangkan itu, digerus manusia yang serakah mengendus emas hitam. Tak berdaya mempertahankan cerita cinta mereka, rumah mereka, telur mereka, diatas pinus yang hanya bisa bergoyang dan diam. Pasrah menunggu mati.

ltf
16/04/09

Minggu, 12 April 2009

Sunset Yang Meredup

lelaki itu membuka handphone lipatnya perlahan. lima menit lewat tengah malam, saat SMS itu masuk. masih berbaring dengan tatapan yang megap, ia berusaha mengenali pengirimnya. maklum sudah sejam yang lewat ia lelap tertidur.

ia mendadak bangun dari tidur saat mengetahui siapa pengirim SMS itu. ia lalu duduk di tepian tempat tidur agar tak salah membacanya. SMS yang mungkin sangat berarti dari seseorang yang pernah memberinya spirit di masa lalunya. maklum ini pesannya yang pertama tepat sejak setahun yang lalu. pengirimnya masih selalu ia rindukan, meski yang ia lakukan hanyalah membuat nomor hanphone-nya mengendap diantara banyak nama tak berarti.

dengan tangan bergetar, ia memencet tombol dan menggeser layar handpone-nya kebawah. dengan perasaan sedikit berdebar ia memelototi kata-kata itu satu demi satu. rasanya ia ingin text SMS itu lebih panjang. dalam hati ia bertanya-tanya kenapa perempuan itu mengirim pesan langka di malam buta? sebegitu pentingkah pesannya?

rinai gerimis sisa hujan tadi masih riuh menetes di atap kamarnya. iramanya mengiringi ingatan pria itu kembali ke masa lalunya. matanya yang masih lelah menatap kosong text SMS yang usai dibacanya.

waktu terasa bergulir terlalu cepat bagi pria itu. tak terasa sudah lewat tengah hari. dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri lorong gelap di dasar gedung perpustakaan kampus. kelelahan yang menghinggapi pikirannya ditimpali pesimisme yang membebani. ia tak yakin dengan jawaban ujian akhir mata kuliah thermodinamika barusan. tapi sudahlah, time is over. gumamnya dalam hati. usai semester ini masih ada semester pendek!

sejenak ia berhenti di depan pintu saat tiba di sudut gedung perpustakaan. memperhatikan alas-alas kaki yang dikenalnya tumpang tindih. tatapannya berhenti pada sepasang sepatu putih yang masih baru. aku tak pernah lihat yang ini. siapa yang datang? batinnya bertanya. dari dalam ruangan terdengar suara dan canda orang-orang yang dikenalnya.

di ruangan depan ia menemukan teman-temannya. lelah jelas telihat di wajah mereka. mungkin karena habis ujian juga, mungkin karena mentari yang terlalu terik bersinar, atau karena narasumber mereka yang seenaknya membatalkan jadwal wawancara.

diantara teman-temannya itu ada wajah yang sama sekali tak dikenalnya. di samping Lily, ada perempuan baru asyik membaca novel. sejenak pria itu tertegun memandangi perempuan itu. Lily tersenyum melihatnya. seperti tahu apa yang diinginkan pria itu, dia lalu berujar, “kenalkan, ini Rose, teman se-fakultasku”.

lelaki itu menjabat tangan kenalan barunya. lama sekali. kalau karena Lily tak menegur, mungkin akan lebih lama lagi. teman lain yang melihatnya cuma tertawa dan berguman menyindir. lelaki itu duduk dan mulai membuka lembaran term of reference (TOR) wawancara yang telah direvisi redakturnya tadi pagi. mulailah ia larut berdiskusi dengan teman yang mendapat penugasan yang sama. membagi siapa yang mewawancarai siapa. separuh hari itu, ia habiskan dengan bergulat mengejar dead line.

“Aslm. Bagaimana hari ini memperlakukanmu disana? Nice to meet u. Maaf ya, Lily yang ngasih tau no HP kamu..”. lelaki itu duduk di kursi ruangan meeting sendirian. sejenak di layer handphonenya terbaca ’message sent’, lalu menghilang. diganti penanda waktu yang menunjuk pukul 08.30 malam. mudah-mudahan ia sedang memegang handphone dan juga belum tidur! pria itu membatin.

tiga menit ia duduk tenang menunggu. menatap jelas pada layer handphone lipat itu. sebuah sms masuk. tak sabar, dengan lincah jempolnya membuka sms itu, lalu dengan penuh harap membacanya. “Wslm. Baik-baik saja. Semoga kamu juga disana. Nice to meet u too. Hehehe!”

malam itu ia lupa berapa banyak sms yang ia kirimkan. bertanya segala hal yang ingin dia ketahui tentang kenalan barunya. setidaknya dua kali handphonenya memberi peringatan bahwa memory sms full. sama sigapnya, kenalan barunya menjawab dengan jelas dan tak lupa mengakhiri setiap sms dengan pertanyaan.

begitulah! hari hari berjalan begitu indah dan penuh harapan baginya. saking semangatnya, ia tak peduli dengan hasil ujian tempo hari yang mengharuskannya mengulang di semester pendek saat musim libur nanti. ia bahkan mensyukurinya. sebab dengan begitu, ia punya alasan untuk tak pulang kampung. dengan begitu pula ia tetap bisa dekat dengan kenalannya yang berwajah manis itu.

“Gak nyangka ya, Tif. Kita bisa jadian dalam waktu yang sangat singkat.” Ujar perempuan itu tulus kepada lelak di sebelahnya di suatu siang. tak peduli banyak orang berseliweran di taman depan fakultas itu, yang mungkin saja menguping. bahkan pada temannya, Lily yang juga duduk di bangku yang sama. mendengar itu Lily tergelak sambil menujuk ke muka perempuan itu, “Akhirnya ngaku juga, hahaha…!”. seketika perempuan itu ikut tertawa. disampingnya sang lelaki pun tersenyum. dalam hati ia bahagia.

tak pernah sebelumnya, hari-hari berlalu penuh kenangan bagi lelaki itu. tidak, sebelum hari melelahkan yang mempertemukan mereka. selalu setiap lelap akan menjemput menuju pagi, ia mengirim pesan pendek kepada perempuannya yang berwajah manis itu. berharap bahwa tak hanya siang hari, tapi malam juga akan mempertemukan mereka. dalam mimpi yang indah.

sebisanya, setiap hari, lelaki itu menemui perempuannya. fakultas yang berbeda membuatnya harus membuat janji jika ada waktu untuk ketemu. di taman depan kampus itu, di tempat makan siang, di halaman depan kampus, di pinggiran danau yang tenang menghanyutkan, lalu mengantarnya pulang di sore hari. andai saja mungkin, ia ingin waktu bisa diputar lebih lambat. ia tak ingin bahagia di dadanya berakhir di sore hari, lalu digantikan kangen yang kadang menyiksanya hingga pagi.

lelaki itu bahkan kadang tak peduli dengan kuliah, tak peduli dengan rapat organisasi kampus yang diikutinya, tak peduli dengan kejaran atau bentakan redaktur Koran kampus yang menagih beritanya. baginya, yang lain itu bisa ditunda lalu diselesaikan di waktu yang lain. ya, maklum ia belum pernah memiliki perasaan separah itu dalam hidupnya. ia seakan tak lagi membayangkan hidup tanpa perempuannya. masa depannya telah ia rancang dengan jelas bersama sang pujaan hati. tak ada Plan B untuk hal ini sebab ia tak ingin menyisakan celah untuk memungkinkan takdir memisahkannya hingga hidupnya berakhir. sekalipun.

di suatu sore yang terik, bersama perempuannya ia berjalan pelan kearah tanggul pantai Losari. sekeliling sudah ramai oleh kelompok muda mudi, keluarga yang berhasrat menyaksikan matahari perlahan tenggelam di ujung laut sebelah barat. sebagian dari mereka masih berseragam kantor atau sekolah. jelas terlihat lelah di wajah mereka yang berjalan dengan gontai kearah tanggul mencari view yang bagus.

di depan tanggul, di atas bangku beton yang pendek, lelaki itu duduk di sebelah sang perempuan. sejenak, ia memandang lepas ke laut biru. lalu tunduk menatap lantai berukir di bawah kakinya. sang perempuan pun hanya tertegun. entah apa yang menyelimuti pikirannya. hening.

“aku lelah sekarang”. ujar perempuan memecah keheningan yang mengantarai mereka. tatapannya lepas kearah laut yang memantulkan sinar mentari yang memudar. sejenak lelaki itu memalingkan muka, menatap perempuan itu. seakan tak mengerti arah kata-kata perempuan barusan. sejurus, ia mengalihkan pandangannya lurus ke depan. menghela napas panjang lalu membuangnya pelan.

“baiklah. saya antar pulang sekarang”. ujar sang lelaki. ia lalu berdiri. hari ini memang berat dan karenanya butuh lebih banyak istirahat. begitu ia berpikir. seperti berusaha menerka apa yang ada di pikiran perempuannya. entah kenapa, seperti ada bias yang menyelimuti perasaannya saat berjalan kearah parkiran. ah! sudahlah, tidak akan seperti itu. batinnya berusaha tetap berpikiran positif.

tiga menit menuju pukul 01.00 malam. lelaki itu duduk tertegun menopang dagu. matanya yang lelah memerah. hanya sesekali berkedip pelan. untuk kesekian kali, ia membuka sms itu. lalu membacanya kembali, seperti belum mengerti maksud pengirimnya. setengah jam berlalu ia tak juga menemukan jawaban yang tepat untuk sms itu.

setelah beberapa lama ia bangkit dari duduknya. lalu berjalan ke arah jendela. di luar sana, rinai gerimis masih menghujam bumi. menghalangi pandangan lelaki itu kearah jalan raya yang sepi. tak ada lagi deru mesin terdengar dari sana. tak ada kendaraan tambang, sepeda motor, juga bus malam yang lewat. hanya kubangan air hujan di sisi jalan yang memantulkan sinar lampu yang muram.

lelaki itu tertegun lama sekali. batinnya yang sesak luruh perlahan. ia memilih berdamai. semuanya telah usai. oleh waktu, oleh takdir yang tak bisa dilawan, tak bisa kompromi dengan kenginan baik yang telah matang direncanakan. kau, perempuanku, memilih menjauh. dan setelahnya, takdir pun membawaku menjauh darimu. mengasingkan aku ke tempat sunyi ini. di kekinian kita hanya teman. dan itu cukuplah sudah. sebab jika mau, waktu bisa saja membuat kita tak pernah kenal!

di atas cakrawala, gelap kian memudar. dari balik jendela, di atas pohon cengkeh, gerombolan burung pipit berkicau silih berganti. untuk terakhir kali sang lelaki membaca sms itu. ‘Aslm. Tif, selamat ulang tahun. Wish all the best for u’. Tak ingin menunggu lebih lama, dibalasnya sms itu. ‘Aslm. Alhamdulillah. Terima kasih atas ucapan selamat dan doa ulang tahunnya’. diiringi hembusan nafas panjang, ia menutup handphone lipatnya setelah ada konfirmasi, message from Rose was deleted..

12/04/09
ltf

Rabu, 08 April 2009

Tak Bisa.

Aku tiba-tiba merasa iri dengan si Dadang. Baru beberapa detik berlalu saat kuakhiri pembicaraan telepon dengannya. Pagi ini nun jauh di seberang sana ia masih masuk kantor. Tapi tak akan lama. sekarang masih jam 08.15.Empat puluh lima menit kedepan, dia mungkin sudah di Sepinggan Airport.

Ya hari pagi ini dia akan pulang. Seperti tak ada yang bisa menahannya untuk pergi. Tanpa sepengetahuan boss di kantor, ia telah memesan tiket 3 hari sebelumnya. Dan itu berarti dia akan pulang tanpa mengantongi izin boss.

Tadi nada suaranya begitu riang di telepon. Membayangkan pulang, mengudara dan mendarat di bandara Sultan Hasanuddin yang baru. Di dadanya membuncah kangen untuk ayah, ibu, kakak, dan family yang lain. Juga buat teman-teman yang beberapa lama hanya dapat ditemui lewat layar computer, atau bicara lewat handphone.

Hari ini Kamis 9 April 2009. Sejak kemarin siang ia telah bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Lewat handphone ia mengatakan telah membuat beberapa rencana untuk menghabiskan hari hingga akhir pekan nanti. Kemana ia akan pergi, dengan siapa dan bertemu siapa. Alangkah riangnya ia diseberang sana.

Seakan tak peduli dengan limit kartu handphone-ku yang hampir usai, ia terus bicara. Meluapkan gembira, melupakan sejenak pekerjaan yang ditinggalkan, tak peduli boss tahu dia pulang atau tidak. Juga tentu tak terlalu risau dengan permintaan traktiran teman-teman yang ditemuinya. Dalam hati yang lirih terucap, selamat bersenang-senang kawan! Mumpung masih ada waktu…

Hari masih pagi. dari luar, terdengar pintu utama digedor. Ah, pasti Mr. Nainggolan. Seminggu ini ia kena giliran jaga malam. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.30. Dengan dengan langkah gontai kubuka pintu kamar lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk cuci muka. Keluarnya, tak lupa kuraih gelas besar dan teh celup dari dalam lemari. Di ruang tengah kucurahkan air panas dari dispenser kedalam gelas. Lalu duduk dekat tipi yang sesaat lalu dinyalakan Mr. Nainggolan.

Sejurus kemudian aku masuk kembali ke kamar. Rasanya ada yang terlupakan. Kubuka handphone lipat yang diam diatas lemari kecil. Ternyata masih ada SMS sisa semalam yang tak sempat kubaca. Dari seorang teman lama, ia menulis: ‘Aslm. Jangan lupa besok contreng Partai Kita Semua. Hehehe..”

Kubaca SMS itu sekali lagi. Lalu sejenak tersenyum kecut. Maafkan aku kawan. Disini, sekarang, banyak hal yang aku tak bisa. Tak bisa pulang seperti si Dadang, tak bisa ketemu kalian yang selalu menagih traktiran. Juga tak bisa memenuhi permintaanmu di SMS itu. Sebab aku telah memilih yang lain. Memilih untuk tak memilih. Bukan karena keinginan tapi karena aku tak ada niat untuk selamanya disini.

ltf

09/04/09

Minggu, 05 April 2009

Coretan sisa situ!

Ada maksud apa apa dengan apa yang kutulis ini. Tak kepada siapapun aku maksudkan kecuali untuk jiwa yang kerdil ini. Aku hanya merasa ada yang ganjil disana. Di jiwaku, jiwa mereka yang setara, yang merdeka. Yang semestinya setiap saat bisa lebih baik. Kumaksudkan begini sebab aku pun selalu ingin bisa lebih baik, bukan hanya untuk pekerjaan, tetapi pada semua hal. Dari ayunan hingga ke kuburan dan setelah itu. Jika ditanya apa yang paling jauh, aku ingin menjawabnya: masa lalu..Sebab bukankah dia tak akan pernah kembali. Meski itu, baru sedetik berlalu.

Situ Gintung. Nama daerah itu tiba-tiba menjadi terkenal seantero nusantara. Mungkin juga telah sampai ke negara lain. Bukan karena ada hal baik yang spektakuler terjadi disana, bukan juga karena keberhasilan atau ada yang unik dengan orang-orang, kawasan dan apa yang dihasilkan dari sana. tapi karena bencana.

Ya seperti itulah yang terlihat, terdengar dalam seminggu terakhir. Ada saja kabar di TV tentang apa yang sudah terjadi sepekan disana. Jebolnya tanggul yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dan hingga kini banyak lagi yang masih dalam pencarian.

Situ Gintung tiba-tiba ramai dikunjungi orang. Entah itu orang-orang dari tim evakuasi, tenaga medis, para penyalur bantuan, petinggi negara yang tiba-tiba terlihat akrab lagi setelah terpisah jadwal kampanye yang padat, juga orang-orang sekitar kawasan itu yang didalam hati bertanya dan penasaran, apa yang terjadi disana?

Tapi disinilah yang unik menurutku. Tak hanya kali ini. Saat tsunami melanda aceh, gempa yogya, lumpur lapindo dan sebagainya. Antusiasme orang untuk melihat apa yang terjadi sangat tinggi. Ya, daerah bencana sesaat seperti sebuah tempat yang menarik untuk dilihat. Mungkin sejenak kita dibuat lupa dengan tempat wisata indah yang ada di sekitar kita. Atau bahkan mungkin tempat wisata yang selama ini hanya bisa dilihat lewat layar kaca. Pun lebih dari itu, bencana juga tempat dan saat yang tepat bagi partai, bagi sebagian orang untuk tebar pesona menjelang pemilu (jika tidak, maka tak semestinya ada umbul-umbul partai di banyak posko bantuan).

Kita, bumi pertiwi ini, telah banyak merekam dan mengalami tragedi/bencana. Pun sampai kapan? Seharusnya cukup satu atau dua peristiwa saja, bisa membuat kita aware dengan diri kita. Dengan sekitar kita. Memang terasa terlalu naïf jika pada tragedi-tragedi yang telah merenggut jiwa banyak anak bangsa itu, tak ada yang bertanggung jawab. Ataukah kita sengaja melakukan pembiaran, memperbanyak kemungkinan terjadinya bencana? Tidakkah kita seperti orang buta dan tuli yang harus selalu diingatkanNya dengan bencana yang baru, sebab kita tidak melihat, tidak mendengar, lalu belajar darinya?

Semestinya, dari bencana yang telah banyak itu ada pelajaran yang bisa kita renungkan. Mungkin kita telah terlalu cuek dengan keselamatan kita, dengan lingkungan kita, lupa untuk selalu positif dan berlaku baik. Bersyukurah bagi kita yang masih diberi waktu. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum kita kembali. Juga, untuk mereka yang telah pergi, semoga mereka kembali tak sekedar karena waktunya telah tiba. Dari tempat permainan dan senda gurau ini kami berucap, selamat jalan! Semoga ini tanda bahwa rindu kami yang masih tinggal, tak lebih berarti dari rinduNya terhadap kalian…

ltf
02/04/09.